Sejenak kita bisa
bernafas lega, satu bulan berlalu Kota Jakarta dihantam banjir luar biasa. Fluktuasi
curah hujan akibat perubahan iklim disinyalir menjadi salah satu penyebab dari
sekian banyak permasalahan yang ada di Kota Jakarta. Ketika curah hujan di
Jakarta tinggi, terjadilah banjir, namun pada musim kemarau, air menjadi langka
dan tinggi permukaan air di sungai-sungai menurun drastis. Tak pelak, warga
Jakarta pun semakin ‘akrab’ dengan banjir tiap tahunnya.
Perubahan iklim
bukan hal baru
Tidak hanya Indonesia, perubahan iklim terjadi di seluruh
dunia, dampak negatif yang mengkhawatirkan baru-baru ini adalah bencana besar. Seperti
badai salju menghantam Beijing dan badai sandy di Amerika yang datang begitu tiba-tiba.
Sebenarnya, perubahan iklim bukan hal baru lagi terjadi. Secara
alami iklim di bumi selalu berubah dari jutaan tahun lalu. Namun, diluar
kejadian alami tersebut, saat ini perubahan iklim global lebih cepat terjadi,
akibat peningkatan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan dari berbagai aktivitas
manusia, seperti pembakaran hutan, pemakaian alat listrik, pembakaran bahan
bakar fosil seperti minyak, batubara, gas alam dan pertumbuhan penduduk yang menjadi
kontributor tidak langsung meningkatnya
gas rumah kaca dan memicu semakin cepatnya iklim berubah tak menentu apalagi sulit
diprediksikan.
Sebagai penghuni bumi, masyarakat di seluruh dunia terutama
Indonesia, perlu beradaptasi dengan perubahan iklim di lingkungan sekitar agar
dapat bertahan hidup.
Oleh karena itu,
perlu adanya upaya mitigasi dan adaptasi untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan iklim yang telah terjadi.
Upaya Mitigasi
Mitigsi merupakan upaya yang dilakuan
untuk mencegah, menahan, atau memperlambat gas-gas rumah kaca yang menjadi
penyebab utama pemanasan global.
Saat ini istilah ‘go green’ sudah menjadi tren, banyak masyarakat ‘sadar’ pentingnya berbuat sesuatu untuk kebaikan bumi sejak dini. Mulai dari menanam pohon, pemilahan dan pemanfaatan sampah organik atau non organik, gaya hidup sehat sekaligus penghematan listrik dan bahan bakar lain. Semua upaya ini dilakukan secara personal, berawal dari elemen masyarakat yang paling kecil yakni sebuah keluarga.
Adapun upaya mitigasi yang telah saya dan keluarga lakukan untuk lingkungan hidup, antara lain:
Saat ini istilah ‘go green’ sudah menjadi tren, banyak masyarakat ‘sadar’ pentingnya berbuat sesuatu untuk kebaikan bumi sejak dini. Mulai dari menanam pohon, pemilahan dan pemanfaatan sampah organik atau non organik, gaya hidup sehat sekaligus penghematan listrik dan bahan bakar lain. Semua upaya ini dilakukan secara personal, berawal dari elemen masyarakat yang paling kecil yakni sebuah keluarga.
Adapun upaya mitigasi yang telah saya dan keluarga lakukan untuk lingkungan hidup, antara lain:
Hemat air dan energi : menggunakan listrik sesuai kebutuhan, bersepeda jika jarak tempuh perjalanan tidak jauh dan tidak memasang AC di rumah (jendela sebagai pengganti)
Memisahkan sampah organik dan non organik : meski masih dalam proses pembelajaran pengolahan sampah keduanya, yakni kompos (organik) dan mendaur ulang (non organik)
![]() | ||||
Membiasakan diri dan keluarga, memilah sampah sesuai jenisnya |
Stop pemakaian sachet : meminimalkan
pembelian produk plastik, lebih memilih kemasan botol, walau mahal tapi hemat
dan botol bisa dikumpulkan untuk di daur ulang atau saya jual ke pengepul
[Dari kebiasan ini, saya usulkan ke suami saya- Bambang Subianto untuk menulis gagasan di Jawa Pos, yang suka menulis opini. Ternyata, muncul juga di Koran, Semoga menginspirasi]
[Dari kebiasan ini, saya usulkan ke suami saya- Bambang Subianto untuk menulis gagasan di Jawa Pos, yang suka menulis opini. Ternyata, muncul juga di Koran, Semoga menginspirasi]
Diet kantong plastik :
saat membeli sesuatu selalu membawa tas dari rumah. Jika ada plastik sisa, saya
berikan ke tukang sayur yang kadang lebih membutuhkan.
![]() |
Tas Favorit jika ke pasar |
Menabung pohon dan
‘menghidupkan’ pekarangan dengan sayuran : Saya dan suami juga ‘menabung’ pohon Jati
di belakang rumah (ada 10 pohon yang tingginya rata-rata masih 0,5 m), ada juga
aneka tanaman lainnya seperti pisang dan pepaya, aneka sayur seperti bayam,
kemangi, ketela pohon ada juga rempah-rempah. Tanaman cabe sering saya petik
untuk tambahan bahan sambal.
![]() |
Hijaukan pekarangan dengan pohon jati (ayah dan anak) |
Saya yakin, upaya mitigasi
diatas dapat dilakukan oleh siapapun, asal ada kemauan untuk belajar dan
membiasakannya. Meski, perubahan Iklim
telah berlangsung, harapan tetap ada untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Tidak ada yang sia-sia jika kita bertindak sejak
dini, untuk mengurangi atau memperlambat kondisi buruk pada bumi, yang
dapat memicu perubahan iklim semakin
dinamis.
Meskipun demikian, mitigasi saja
tidaklah cukup tanpa adanya upaya adaptasi, karena dampak perubahan iklim
akan tetap dan terus kita rasakan. Oleh karena itu, adaptasi menjadi hal yang
terpenting dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim.
.
Upaya Adaptasi
Upaya Adaptasi
Adaptasi adalah usaha-usaha yang
dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim yang memang
telah terjadi dan kita rasakan saat ini.
Sebenarnya, masyarakat
secara langsung maupun tidak langsung sudah melakukan adaptasi terhadap
perubahan iklim, baik dengan dan tanpa adanya bantuan dari pemerintah.
Indonesia
merupakan negara kepulauan terdiri dari banyak wilayah (perhutanan, pesisir, perkotaan
ataupun pertanian). Pastinya, tiap wilayah memiliki praktik adaptasi terhadap
perubahan iklim yang berbeda. Kenapa? Sebab, upaya
adaptasi ini, sangat berguna sebagai pembuatan rencana antisipasi, mulai dari
penyebaran informasi, tindakan dan penanganan hingga perlibatan masyarakat
setempat.
Dibawah ini saya akan memberikan
contoh praktik atau strategi masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim,
sesuai wilayahnya.
1. Praktik Adaptasi
Masyarakat Sekitar Hutan
(Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara
Timur) 1
Hutan yang ada di
seluruh dunia saat ini diperkirakan menyimpan lebih dari satu triliun ton karbon.
Hutan juga bisa jadi ‘sumber emisi karbon’ dan penyebab perubahan iklim, jika semua
pohon ditebangi, akan terjadi perubahan besar pada cuaca dan sistem iklim.
Sebuah penelitian dilakukan
untuk mengetahui praktik masyarakat terhadap perubahan iklim, tepatnya di Desa
Nenas dan Desa Bena, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara
Timur.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat tidak mengerti apa yang dimaksud
dengan perubahan iklim. Masyarakat hanya faham kalau saat ini ada perubahan
musim (hujan dan kemarau), mereka kesulitan menjadwalkan waktu tanam.
Dampak negatif dari
perubahan iklim adalah banjir, tanah longsor,
kekeringan, ketersedian air yang terbatas, dan akhirnya dapat menurunkan
produksi pertanian, masalah kesehatan masyarakat, padang rumput dan semak
kering yang rentan kebakaran.
Masyarakat telah
melakukan beberapa strategi untuk beradaptasi, antara lain;
- Penanaman pohon untuk pengendalian banjir
- Penyesuaian pola tanam waktu tanam
- Mengubah spesies tanaman pertanian
- Pembuatan bangunan teknis (sumur galian, rumah panggung, bak penampungan air, saluran irigasi) dalam hal ini dibantu pihak Pemda setempat.
Strategi adaptasi
yang diimplementasikan oleh masyarakat di Di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur sebagian besar
merupakan adaptasi reaktif dan antisipatif.
2. Praktik Adaptasi
Nelayan di Wilayah Pesisir
(Di Dusun Ciawitali, Desa Pamotan,
Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)2
Nelayan dan
sumberdaya pesisir memiliki hubungan erat, tak diragukan berbagai perubahan
iklim pun dapat ditafsirkan oleh nelayan. Berdasarkan prespektif nelayan
Ciawitali, perubahan iklim telah menyebabkan
terjadinya dampak ekologis berupa perubahan musim ikan dan kekacauan musim
angin.
Pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat Ciawitali,
perubahan iklim berdampak pada terganggunya sumber-sumber air serta ancaman
angin puting beliung di wilayah pemukiman penduduk.
Pada kegiatan perikanan tangkap, perubahan iklim menyebabkan
sulitnya menentukan musim penangkapan ikan, sulitnya menentukan lokasi
penangkapan ikan, meningkatnya resiko melaut, serta perubahan sistem
pengetahuan dan kepercayaan nelayan, peran wanita, serta posisi sosial nelayan.
Ada 4 praktik adaptasi yang dilakukan nelayan untuk
menyelamatkan perekonomian keluarga yang terkena dampak perubahan iklim, antara
lain :
- Adaptasi iklim berupa strategi mengejar musim, yaitu melakukan perpindahan wilayah tangkapan dengan memanfaatkan informasi dari nelayan di berbagai tempat mengenai musim ikan di wilayah lain.
- Adaptasi sumberdaya pesisir, yaitu pencarian hasil tangkapan tanpa harus pergi ke laut lepas.
- Adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumah tangga berupa optimalisasi tenaga kerja rumah tangga dan pola nafkah ganda. Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga merupakan pelibatan peran dari anggota keluarga dalam perekonomian rumah tangga nelayan, sehingga tidak hanya bergantung dari kepala keluarga. Sedangkan pola nafkah ganda adalah upaya mencari sumber pendapatan lain selain dari hasil melaut.
- Adaptasi melalui keluar dari kegiatan perikanan (escaping from fisheries), yaitu meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan dan menekuni pekerjaan lain
Saat ini,
pemanfaatan teknologi jadi alternatif untuk membantu para nelayan. Informasi yang dihasilkan terutama teknologi
informasi dan komunikasi (TIK), berpotensi memberi peringatan dini bagi nelayan
yang mempersiapkan diri untuk melaut.
Peluang adaptasi
yang ditawarkan teknologi adalah adanya proses adaptasi nelayan melalui
jejaring antar nelayan, antara nelayan dengan pemerintah/lembaga pencatat data
iklim, dan antara nelayan di dalam komunitasnya. Berharap, dengan penggunaan teknologi
yang lebih massif, perubahan iklim bukan lagi kendala untuk meningkatkan
produktivitas para nelayan.
3. Praktik Adaptasi
Petani Apel
(Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu Jawa Timur)3
Kota Batu merupakan
salah satu kota di Jawa Timur yang memiliki daerah pertanian dan perkebunan
yang subur. Apel sebagai salah satu komoditas unggulan Kota Batu terancam
mengalami penurunan produksi akibat dari dampak perubahan iklim.
Perubahan iklim
telah dirasakan dalam sepuluh tahun terakhir oleh petani apel di Kota Batu.
Gejala-gejala yang dirasakan yaitu semakin meningkatnya suhu di Kota Batu,
terjadinya perubahan siklus musim hujan dan musim kemarau serta perubahan suhu
yang ekstrem dari sangat dingin kemudian menjadi sangat panas ataupun
sebaliknya.
Akibat dari
perubahan iklim, tanaman apel menjadi sulit untuk mengalami pembuahan,
perkembangan hama dan penyakit lebih cepat, hama dan penyakit yang sudah lama
tidak ada kemudian muncul kembali dan tanaman apel menjadi kelebihan air.
Dampak tersebut
kemudian menyebabkan produktivitas apel dan keuntungan usaha tani menurun
sehingga kesejahteraan petani apel juga menurun.
Praktik adaptasi
perubahan iklim yang dilakukan petani apel adalah :
Memantau
pohon yang terserang penyakit dan segera memberantasnya, - Penggunaan bahan, dan penanaman bibit unggul;
- Jika pohon apel sulit terjadi pembuahan, petani apel membuat pohon penegak
- Memantau curah hujan, mengantisipasi kelebihan atau kekurangan air
- Pemilihan tipe tanah dan lahan yang cocok,
- Pemilihan batang bawah yang kuat,
- Pengaturan pemberian pupuk dan pembuatan tanaman yang di bawah pohon apel.
Tanggal
17 Januari 2013, bencana banjir di Jakarta melumpuhkan aktifitas ekonomi,
sosial dan budaya. Tidak salah tampaknya, ketika menengok kembali laporan yang
dihaslkan oleh Economy and Environment Program for South East Asia pada
tahun 2009 yang menyatakan bahwa tingkat kerentanan kota Jakarta sebagai
wilayah pesisir sangat tinggi. Bahkan menduduki peringkat paling tinggi di Asia
Tenggara, khususnya terhadap dampak dari perubahan iklim.
Sampai detik ini, masyarakat Jakarta hanya melakukan
adaptasi reaktif saat bencana datang, yakni dengan melakukan pengungsian ke
tempat yang lebih aman dari banjir. Pemerintah juga melakukan penanganan
lapangan seperti penyediaan logistik dan perahu.
Adapun, upaya pemerintah saat ini untuk menanggulangi banjir
tahun depan, dengan pelebaran
sungai Pesanggrahan yang akan dipercepat mulai tahun 2014, kemudian melakukan
pengerukan Cengkareng Drain dan sungai-sungai kecil lain.
Sudah saatnya, pemerintah Jakarta segera menyiapkan program adaptasi
terhadap perubahan iklim secara sistematis dan strategis. Belajar dari Jepang,
dengan pemanfaatan teknologi yang canggih untuk meminimalisir korban gempa yang
bisa datang sewaktu-waktu. Sama halnya dengan banjir tahunan yang menggenangi
Jakarta.
Film "Badai yang berkumpul" : efek perubahan iklim Asia-Afrika
Film ini layak ditonton, serial berisikan 16
film pendek mencakup mengenai efek perubahan iklim di seluruh Asia dan
Afrika. “Badai yang Berkumpul” diproduksi oleh Program Lingkungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Jaringan Informasi Regional (IRIN), lembaga berita
kemanusiaan dan pelayanan analisa dari Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Koordinasi Urusan Kemanusiaan. Hasil kerjanya telah berhasil mengumpulkan
sejumlah penghargaan, termasuk menjadi pemenang di Festival HRA Bangkok tahun
2009 dan Festival Film Kos Internasional.
Film "Badai yang berkumpul" bisa diunduh di sini [4]
Film "Badai yang berkumpul" bisa diunduh di sini [4]
Dari beberapa film ini, kita dapat melihat bahwa masyarakat telah menemukan cara beradaptasi
terhadap aspek pemanasan global dan masih bertahan hidup. Misalnya;
- Memanen hujan di Uthymba Kitui, Kenya
- Irigasi tetes di Ngohe Ndioffogor, Senegal
- Menghindari banjir di Chokwe, Mozambik
- Erosi pantai di Saint Louis, Senegal
- Malaria dataran tinggi di gunung Kenya
- Dan masih banyak lagi
Peran masyarakat
dan Stakeholder dalam menghadapi perubahan iklim
Keterlibatan
masyarakat lokal (penduduk asli) sangatlah penting dalam menghadapi perubahan
iklim. Karena, mereka lebih mengetahui
potensi alam dan pengalaman dalam menghadapi masalah alam. Kita tidak bisa
menafikan bahwa dampak negatif dari perubahan iklim adalah terjadinya bencana
yang dapat menelan korban, kemiskinan bahkan perekonomian masyarakat juga mengalami kemerosotan.
Berdasarkan informasi yang saya
peroleh, prediksi tahun 2080, kerugian ekonomi akibat pemanasan global pada sektor
pertanian di Indonesia bisa mencapai 6,33 miliar dolar AS, jika tidak ada upaya
mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Bahkan, perubahan iklim juga mengakibatkan
peningkatan muka air laut yang berimbas pada penciutan lahan dan degradasi
sawah produktif yang mencapai 292 hingga 400 hektar atau 3,7 persen pada tahun
2050, terutama di daerah pesisir. [5]
Kerugian tersebut
bisa ditekan dengan strategi antisipasi, mitigasi dan adaptasi yang konseptual,
terintegrasi dan holistik. Oleh karenanya, kerjasama masyarakat lokal dengan stakeholder
yang terkait sangat dibutuhkan, misalnya komunitas lokal, instansi
pemerintah, organisasi nirlaba yang semuanya fokus di bidang sosial,
kemanusiaan atau pemerhati perubahan iklim baik tingkat lokal atau
internasional.
Adapun sebuah organisasi
internasional, yang turut mengatasi bencana akibat dampak perubahan iklim di
Indonesia adalah Oxfam.
Oxfam, gerakan global untuk perubahan
![]() |
Beberapa kegiatan Oxfam |
Oxfam adalah Konfederasi Internasional ini
dari tujuh belas organisasi telah bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian
dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas
dari ketidakadilan akibat kemiskinan.
Oxfam
GB memberikan bantuan pertama kalinya di Indonesia pada tahun 1957 untuk
komunitas yatim piatu, dan sekarang Oxfam GB bekerja sama dengan masyarakat untuk
memerangi kemiskinan meliputi wilayah Indonesia bagian barat hingga timur.
Oxfam
berkarya untuk kebaikan dunia, salah satunya Indonesia seperti :
- Memberdayakan perempuan agar menyadari hak-haknya dan mencarikan jalan untuk keluar dari kemiskinan.
- Membantu pembuat keputusan dalam mememerangi ketidaksetaraan dan kemiskinan melalui pembuatan kebijakan dan program.
- Membangun ketahanan kaum miskin dan yang paling rentan di Indonesia agar mereka dapat mengatasi beragam goncangan, dan bencana, termasuk efek dari perubahan iklim. [6]
Perubahan iklim akan terus terjadi, namun laju perubahan iklim bisa diperlambat dengan memberikan yang terbaik untuk bumi.
Bersahabat dengan alam, berkomitmen dalam kepedulian sekaligus konsisten dalam menebar
kebaikan pada sesama.
Langkah sederhana yang bisa kita lakukan sekarang adalah melakukan upaya mitigasi. Dari rumah dan lingkungan sekitar, dari apa yang kita bisa, kita mulai....
![]() |
Gambar di ambil dari sini |
Referensi :
[2] Patriana, Ratna.2011.Pola Adaptasi Nelayan Terhadap
Perubahan Iklim (Studi Kasus Nelayan Dusun
Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat).IPB